Kamis, 20 Desember 2012

Wajah Pers Indonesia

                                                                Foto: talkingbiznews


Kalau kita perhatikan wajah televisi---sebagai bagian dari pers di Indonesia--- tampak hanya dua warna.Khususnya televisi berita, yakni televisi yang mayoritas isi acaranya adalah berita.Wajah yang dimaksud adalah '' merah '' dan '' biru ''.Dua wajah yang ditampilkan televisi berita idealnya beraneka warna, namun belakangan semakin menyempit ke-hanya dua muka, masing-masing memperlihatkan penjelmaan pemiliknya.Sebagai televisi swasta, tv One maupun Metro tv, sah-sah saja mau berbuat apa, asalkan tidak melanggar UU Pers maupun kode etik jurnalistik.Dan publik sebagai penikmat acara juga dimaklumi apabila mengalami kejenuhan, meskipun tidak semuanya.

Dalam jurnalistik, teori dasar mengenai istilah '' Cover Both Sides (CBS) '' tidak lagi kaku seperti sebelumnya.Pemaknaan CBS lebih elegan karena para wartawan dapat mengimprovisasi saat berada di lapangan.CBS dalam penerapannya sering diimbangi dengan pola '' Cover Many Sides ''.Improvisasi ini dirasa oleh para jurnalis sebagai perkembangan dalam ilmu jurnalistik karena para wartawan juga manusia yang memiliki rasa.Tidak harus kaku dengan mengabaikan rasa kemanusiaan.

Improvisasi dalam dunia jurnalistik atau pers dapat diterjemahkan ke dalam misi masing-masing media.Sebagai contohnya dua televisi di atas, yang arahnya dapat dibaca mau ke mana.Perkembangan makna ini seiring dengan perkembangan cara berpikir publik dalam menilai media.Bila media dinilai sebagai corong partai atau ormas tertentu maka lama kelamaan publik juga akan meninggalkannya.Alasan publik untuk beralih pada media lain bukan tanpa alasan dan pilihan.Kepergian publik dari media konvensional karena ada alternatif lain yaitu internet.Dalam wujud facebook (fb) dan twitter.Kedua media ini memberikan ruang kepada khalayak ramai untuk berpartisipasi aktif dalam menyampaikan pendapatnya.Tidak seperti media konvensional, publik hanya sebagai pihak yang pasif menerima apapun yang disampaikan media.

Dalam artikel di Jawa Pos yang berjudul '' Tahun 2011 Tumbuh kekuatan Baru:Pilar Kelima ", Sirikit Syah, menempatkan internet pada pilar kelima sebagai penyangga negara; setelah: legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers ( Thomas Jefferson tahun 1787).Para netter yang memilih fb dan twitter akan semakin dominan di tahun 2011 ini.Garakan moral pada fb dan twitter telah membuktikan keberhasilannya pada kasus Bibit-Candra maupun Prita.Garakan ini juga terinspirasi oleh terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika yang berkampanye malalui facebook.

Masyarakat atau publik sekarang tidak begitu saja dapat digiring oleh isu pers.Sikap kritis mulai ditunjukkan publik ketika lebih memilih internet daripada media konvensional.Dari penelitian, pilihan publik ke internet telah mengurangi waktu mereka dalam menonton televisi di Amerika.Internet juga mengurangi publik dalam membeli media cetak.Sehingga beberapa media cetak baik di Indonesia maupun luar negeri mengalami penurunan oplah secara signifikan. Media dengan segala atributnya dapat menentukan warna apa yang menjadi tayangan program.Tetapi publik dengan kekritisannya juga akan memilih media mana yang mereka anggap mewakili kepentingannya.

Rabu, 19 Desember 2012

Seandainya Bos Media Jadi Presiden, Siapa Yang Akan Mengontrol?

                                                Gedung Graha Pena Jawa Pos (Foto: desainweb)

Dalam pidato di Silatnas partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengatakan bahwa, demokrat kuat di darat namun lemah di udara.Kata-kata politis tersebut merupakan simbol yang dapat dimaknai macam-macam.Dengan tidak bermaksud membela Anas, saya ingin menafsirkan, bahwa kata-kata tadi merupakan curhat dan sekaligus mewakili partai-partai lain yang tidak memiliki media, khususnya televisi.Atau, setidaknya ketua partainya bukan pemilik televisi di negeri ini.

Media, termasuk televisi, dikategorikan sebagai pilar keempat dalam demokrasi.Di mana perannya sangat vital karena mampu menggiring opini publik sesuai yang diinginkan.Kebenaran seakan menjadi subjektif ketika sudah masuk ke ranah televisi.Benar menurut media akan menjadi kebenaran yang diamini rakyat banyak.Hal ini terbentuk akibat opini yang sering diciptakan oleh perusahaan media.Seluruh masyarakat barangkali, tidak ada satupun dalam sehari yang bisa melepaskan diri dari menonton televisi.Maka, opini yang disampaikan melalui televisi sangat mudah mempengaruhi pikiran para pemirsa.Dan otomatis akan menjadi kebenaran.

Korporasi media tidak puas jika hanya memiliki satu perusahaan saja.Mereka membentuk grup, dengan kempemilikan tunggal.Meskipun hal ini telah direspon oleh AJI dengan mengajukan permohonan pengujian mengenai UU kepemilikan tunggal media dalam satu wilayah ke MK, tapi hasilnya belum jelas.Faktanya, kita setiap hari disuguhi televisi itu-itu saja.Sebut saja media grup, MNC grup, TV One bersama grupnya, Jawa Pos grup dan yang lainnya.

Di sisi lain kita memang terbantu juga oleh tayangan-tayangan yang ada di televisi.Selain sebagai hiburan, kinerja pemerintah tidak bisa lepas dari bahan pemberitaan televisi saat ini.Mulai dari kritik yang santun sampai yang terkesan emosional dan tendensius.Kita masih beruntung dapat diwakili televisi, apabila kita, sebagai individu mengkritik pemerintah secara langsung, padahal kita bukan siapa-siapa, bukan bos media, bukan pemilik koran, atau televisi, maka posisi kita sangat rawan.UU ITE (informasi dan transaksi elektronik) menghadang di depan mata.Sudah banyak kasus yang terjadi, Prita Mulyasari misalnya, kritikan yang dilontarkan justeru menjadi bumerang terhadap dirinya.

Namun, apabila kritikan disampaikan melalui pemberitaan di televisi, tentu pihak yang menuntut balik berfikir seribukali.Pengamat yang ilmunya kelewat pinter misalnya, suaranya hanya akan terpinggirkan di pojokan kalau tidak ada media yang mengundang atau memuat tulisannya.Itulah kekuatan dari pilar keempat demokrasi.

Selanjutnya, bila nantinya yang menduduki kursi presiden para pemilik media, siapa yang akan mengontrol mereka?Kita kan tahu, siapa saja yang akan berkompetisi di 2014 nanti.Mereka sebagian adalah para bosnya televisi.

Tidak menjadi masalah jika kinerja mereka memang sesuai dengan yang dinginkan rakyat.Atau sesuai dengan prosedur yang berlaku.Jikalau yang terjadi sebaliknya bagaimana?Apakah kita, sebagai rakyat kecil berani menyampaikan kritikan?Benarkah kita tidak akan di-Prita kan? Bukan hanya itu, sarana apa yang akan kita gunakan, sedangkan kita bukan bosnya televisi?Atau kita juga bukan rajanya koran?

Bos media mempunyai para prajurit yang siap bertempur.Yakni wartawan yang tidak bisa lepas dari aturan yang berlaku di korporasinya.Ketika sang juragan berkata ke selatan maka mereka juga akan ke selatan.Mana berani berjalan sendiri ke timur?

Meski begitu, mudah-mudaha kekhawatiran saya tidak akan terjadi.Kita berharap, media, termasuk para pemegang perusahaan mengerti betul kode etik jurnalistik.Bukan hanya itu, filosofi didirikannya media tidak akan mereka abaikan yakni sebagai pendukung kesejahteraan rakyat.Bukan sebaliknya, hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang karena semata-mata mempunyai modal besar di sana.  

Minggu, 16 Desember 2012

Selamat Hari Ibu

                                                              (Foto: artikelmuslimah)



Tidak akan disebut laki-laki apabila tidak ada perempuan.Begitupun istilah pria, dikenal karena ada anonim kata wanita.Manusia pertama yaitu Adam, merasa kesepian ketika diciptakan sendirian oleh Tuhan.Sehingga diciptakan lagi seorang teman yang berasal dari tulang rusuknya dan diyakini adalah seorang perempuan, yaitu Hawa atau Eva.Dengan bigitu, Adam tidak merasa kesepian lagi.Karena dengan adanya Hawa dapat mempunyai keturunan sampai sekarang ini.

Kisah dari kitab suci tadi menunjukkan, betapa pentingnya peranan perempuan atau katakanlah ibu dalam kehidupan.Kita ada karena ibu yang melahirkan.Oleh karena itu posisi ibu sangat mulia dan memang harus mulia.Maka kemuliaan yang diamanatkan bagi kaum perempuan, kaumnya para ibu atau calon ibu harus dijaga.Emansipasi hendaknya dijadikan sebagai momentum peranan perempuan dalam globalisasi.Bukannya sebaliknya, ditempatkan pada posisi yang kurang tepat, yang menyebabkan posisi perempuan tidak mulia lagi.Perempuan dapat dimuliakan dengan tetap manjadi seorang ibu yang tidak keluar dari kodratnya.

Kita lahir dari seorang ibu.Dan, perjalanan hidup kita, langkah kita,gerak kita bahkan detak jantung kita terasa kurang sempurna tanpa iringan do'a seorang ibu.

Selamat hari ibu.....

Pungli


                                                                        (Foto: kompasiana)

Sebelum benar-benar terjadi benturan antar peradaban di beberapa Kawasan, seperti ditulis Sammuel P.Huntington dalam teorinya Clash Of Civilizations.Atau sebelum teori jalan ketiga dalam buku  The Third Way nya Anthony Giddens, menjadi alternatif negara-negara Kapitalis.Karena sebelumnya teori ini menjadi diskusi serius antara Tony Blair dan Bill Clinton di Amerika.Maka Indonesia seharusnya mampu menyelesaikan persoaan-persoalan dalam negeri.

Yang salah satunya adalah pungutan liar atau " pungli ".Karena Indonesia memasuki era ASEAN-China Free Trade Agreement (A-C FTA), di mana Indonesia terlibat di dalamnya.Kalau " pungli " tidak segera diselesaikan, minimal dikurangi, eksportir Indonesia akan kesulitan bersaing dalam perdagangan bebas.

Menurut beberapa ahli Politik Internasional, suatu saat nanti kemajuan peradaban akan bergeser dari Barat ke Kawasan Asia.Terlepas benar atau salah teori tersebut, China sekarang mulai menunjukkan indikasinya.Yang sebelumnya China dililit persoalan ekonomi,kini mampu bersaing dengan Amerika atau Jepang dalam perdagangan.Bagaimana dengan Indonesia?

                                              ****

Dalam sebuah kesempatan, seorang eksportir mebel rotan di Cirebon mengatakan, akan menutup perusahaanya karena barang produksinya tidak mampu bersaing di luar negeri.Pasar mebel, khususnya rotan kalah bersaing dengan Thailand, Vietnam dan China.Persoalannya bukan pada kualitas tetapi pada harga.Biaya produksi yang tidak dapat ditekan mengharuskan mebel rotan dari indonesia di jual dengan harga di atas Thailand, Vietnam dan china.Tentu saja konsumen beralih ke mereka.Ketika ditanyakan mengapa hal ini bisa terjadi? Pengusaha tersebut memberikan beberapa alasan.Pertama, upah tenaga kerja dibidang mebel di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan upah di negara Thailand, Vietnam maupun China.Padahal kita tahu berapa upah buruh di Indonesia?Upah inilah yang menyebabkan biaya produksi meningkat.

Alasan kedua, karena maraknya " pungli" baik di dalam pengurusan dokumen maupun di jalan raya.Hal ini menyebabkan para pengusaha harus menambah anggaran produksinya.

Maraknya '' pungli ''dapat disaksikan dalam jalur antara Jogja sampai ke Cirebon.Di sepanjang jalan banyak sekali oknum aparat dengan seragam yang berbeda-beda meminta jatah uang kepada setiap kendaraan yang lewat.Khususnya kendaraan angkutan barang.Taripnya tidak sama.Tergantung besar kecilnya kendaraan Semakin besar kendaraan tentunya taripnya lebih besar.Begitu juga dengan preman yang tidak ketinggalan meminta jatah juga.Terkadang uang tersebut cukup dilempar apabila kendaraan melaju agak cepat.

Pungutan liar seperti itu tentunya sangat meresahkan para sopir karena harus mengeluarkan dana ' ekstra ' untuk membayar.Dalam perhitungan biaya produksi tentu menjadi bengkak akibat '' pungli '' ini.Itulah sebabnya barang-barang ekspor yang berasal dari Indonesia kalah bersaing harga dengan negara lain.

Pemerintah seharusnya menertibkan praktek-praktek '' pungli '' ini.Supaya mampu bersaing dalam perdagangan global.Terlebih lagi bersaing dengan China.


Kelompok Sempalan

Istilah " Sempalan " oleh Cak Nun digunakan untuk menyebut Syekh Siti Jenar dengan kalimat "Wali Sempalan ".Seorang wali yang memiliki pandangan berbeda terhadap ajaran Islam dengan wali yang lain atau Wali Songo.Demikian juga Gus Dur, menggunakan istilah sempalan untuk menamakan kelompok kecil dalam umat Islam yang menyimpang.Kata sempalan berasal dari bahasa Jawa, yang apabila dicari dalam istilah bahasa Indonesia susah ditemukan kesamaannya.Sempalan digunakan untuk menyebutkan dahan yang patah dari pohonnya.Atau ranting yang patah dari dahannya, kata Gus Dur.

Kelompok sempalan atau " splinter groups ", merupakan kelompok kecil yang muncul belakangan sebagai antitesa dari agama induknya.Jumlah jama ' ah pada umumnya lebih kecil dibandingkan agama mainstream.Dan yang lebih ekstrim lagi, kelompok ini dapat berubah menjadi agama baru.Atau mengklaim keyakinan mereka sebagai agama baru meskipun lahir dari ajaran sebelumnya.Dalam fiqih disebut " syar ' u man qablana ".

Munculnya kelompok sempalan disebabkan adanya ketidak puasan dengan ajaran yang sudah ada.Ditambah lagi kekhawatiran mereka mengenai kondisi yang semakin berkembang dan mereka tidak yakin agama lama mampu mengahadapi persoalan dalam masyarakat.Hal ini akibat tidak tercapainya perdamaian dalam masing-masing agama.Bahkan agama justru menjadi sumber konflik bukan perdamainan.

Menurut Gus Dur kembali, mereka berpegangan pada adagium, la dina illa bi jama ' atin, wala jama ' ata illa bi imaratin, wala imarata illa bi amirin ( bi imamin, bi khalifatin dll.), bahwa tidak ada agama tanpa masyarakat, tidak ada masyarakat tanpa kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan tanpa pemimpin (amir, imam, khalifah dll.).

Keyakinan ini menyebabkan tidak disaringnya kebenaran yang diajarkan pemimpin mereka.Kecenderungan untuk " taklid " atau semua yang dikatakan pemimpin selalu benar, sangat besar.Sehingga fanatisme kelompok sering terjadi.

Kelompok sempalan dapat berkembang menjadi agama sempalan.Bahkan cenderung menganggap ajaran lama harus dieliminasi karena dianggap salah.Sikap yang demikian kerap kali mengundang konflik karena jama ' ah agama mainstream pasti merasa keyakinan mereka terlah ternodai.Seperti yang ditunjukkan Lia Aminudin.Dari mengaku sebagai nabi baru, menjadi sebagai " titisan " malaikat Jibril atau ruhul kudus.Menurut Lia Aminudin, agama lama ( Islam, Nasrani dan Yahudi) dianggap salah dan harus dihapus.

Meskipun ajarannya berasal dari ketiga agama tadi (dalam Abd.Moqsith Ghazali-situs JIL).Lia Aminudin hampir menjadi sasaran kemarahan masyarakat apabila tidak segera diamankan dan diadili. Kelompok sempalan, agama sempalan atau wali sempalan akan selalu muncul seiring perkembangan sejarah kemanusiaan.

Ketidakpuasan kelompok di dalam agama akan selalu ada.Ditambah lagi adanya sebagian umat beragama yang tidak mampu mengambil simpati jama ' ah lain.Meski begitu kita harus tetap saling menghormati, bukannya sebaliknya saling menyalahkan dan akibatnya terjadi konflik yang berkepanjangan.

Ajaran Itu

Sudah kita sepakati bahwa demokrasi menjadi ajaran.Serat yang tertulis tanpa tinta.Bahkan sebentar setelah kemerdekaan 1945 dikumandangkan.Meski tanpa teks maupun tanda tangan dibubuhkan.Kesepakatan itu, tidak kita persoalkan.Sampai saat ini, mulai dari lahirnya.

Dulu pernah lahir Komunisme, Marxisme-Lenninisme atau Neo-Lib maupun konsep NASAKOM.Namun cuma menjadi bagian dari sejarah.Yang pernah menjarah.Perjalanan negeri ini.

Demokrasi telah menjadi ibu bangsa kita.Menyakiti berarti sama saja dengan mengundang kutukan.Bukan buat siapa-siapa, tetapi buat kita sendiri.

Memang, demokrasi bukan ilahiyatul masdhar, atau bersumber dari Tuhan.Tetapi demokrasi lahir untuk menciptakan keadilan.Bukan menumbuhkan kekuatan yang sepihak.Dengan memandang setiap yang menguntungkan adalah kawan.Dan siapapun yang tidak menguntungkan disebut lawan.Meski sesaat, sumpah itu telah merasuk ke dalam jiwa para pemegang kekuasaan.Pada Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.Ibarat, 'menjilat ludah sendiri ', tanpa ragu dan malu mereka pertontonkan.Ketika pagi bicara ke barat.Tetapi siang mereka menghentikan langkah, mendadak memutar arah.Sumpah itu.Fenomena itu telah biasa.

Jangan mengira bahwa rakyat masih tuli dan buta.Meski cuma dari balik terali besi mereka masih mampu mendengar dan menyaksikan kemunafikan.Rakyat punya rasa, mereka masih mempunyai hati nurani.

Para pendiri negeri ini tentu akan menangis .Meneteskan air mata.Apabila menyaksikan masih adanya ketimpangan.Dalam bidang hukum, ekonomi, politik maupun media yang terkadang lebih menyuarakan ' Kapitalisme' daripada kebenaran.

" Kekayaan Negara dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyatnya ".Ayat itu dalam UUD 1945 sering disakralkan.Menyentuhpun harus menggunakan biaya besar.Sebagaimana amandemen yang sekian kali disepakati.Tetapi mengapa kita tidak mampu menemukan maknanya?Mengapa semua seakan sirna, menguap tiada terungkap?

Demokrasi adalah sebuah laku.Langkah suci menuju tatanan kesejahteraan.Dengan berdemokrasi masyarakat dituntut untuk saling menghargai.Kita harus mampu bersikap mutawasith atau moderat.Meski berbeda dalam agama, suku maupun keturunan.Hak asasi menjadi barang berharga karena diyakini sebagai nilai dasar kemanusiaan.Kebebasan dengan dibatasi kepentingan orang lain harus bisa berjalan.Pada tempatnya dan pada norma yang sudah ada.

Tetapi demokrasi juga dapat berkata lain.Yang berarti pengkhianatan.Meski terhadap bangsa sendiri.Sehingga demokrasi menjadi rancu dan ambigu.Seakan buta sehingga tidak dapat melihat yang seharusnya terlihat.Atau tuli karena tidak mampu mendengar yang sebenarnya mampu didengar. Begitulah demokrasi dengan seribu makna yang mengiringi langkahnya.Akan menjadi surga atau neraka.Atau kembali melahirkan bayi kediktatoran, ketika sang penguasa enggan berganti masa.Sekarang tergantung kita bagaimana memaknainya.

Politics


Dalam dunia politik dikenal dua istilah.'' Day to day politics '' dan '' Morality Politics ''.

Day to day politics, dilakukan dengan cara pragmatis, karena mempunyai tujuan jangka pendek.Dan kemenangan selalu menjadi target utama.Bahkan kebenaran seringkali dinafikan.Tindakan yang bertentangan dengan norma,hak asasi manusia atau budaya, seringkali dipolitisir supaya seakan-akan tidak berseberangan.

Sedangkan morality Politics, mempunyai tujuan jangka panjang.Kebenaran menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar.Yang menjadi ukuran adalah moral,norma dan hak asasi manusia.Morality Politics hanya dapat dilakukan oleh para politisi yang betul-betul mampu merealisasikan hati nurani.Meskipun kebenarannya dapat dibuktikan jangka panjang.

Yang menjadi persoalan adalah, tayangan politik yang dapat kita saksikan secara langsung di televisi, merupakan day to day politics atau morality Politics?

Kalau termasuk yang kedua, maka kita akan menjadi bangsa yang mulia.Tetapi apabila termasuk yang pertama bagaimana?

Perang Suci


Ketika jihad hanya selalu bermakna '' qital '' atau '' to kill ''(membunuh).Maka agama tidak lagi bermakna sebuah penyerahan diri.Sebuah perjalanan menuju kebenaran dalam sikap '' taslim ''(ketundukan).

Atau ketika kita tidak lagi menemukan makna lain dalam memandang perjuangan selain sebagai '' holy war ''(perang suci).Maka agama tidak lagi sebagai sebuah keserasian, antara diri dengan alam yang terbungkus keyakinan, seperti kata Mc Taggart, dalam definisi makna agama.

Ketika itu juga kita terjebak ke dalam '' fundamentalisme literal'' atau '' fundamentalisme tekstual ''.Dan ketika itu pula tujuan beragama tidak lagi menjadi '' hanif ''(mendekat), padahal beragama seharusnya adalah kondisi jiwa yang '' natural'' dan kebutuhan manusia yang esensial.

Suicide Bombing


Perjalanan itu tidak akan pernah berhenti meski hanya satu titik.Sebagaimana proses kelahiran, kematian adalah jalan menuju keabadian.Dari raga yang serba fana, jiwa terurai dalam imanensi.Bagi sebagian diri, ada janji yang tak terperi.Tentang surga dan neraka.Tetapi buat diri yang lain, keikhlasan lebih membawa ketentraman dalam menemukan, '' Yang Paling Awal dan Paling Akhir ''.

Kesucian laku menuju kesejatian, telah ternodai oleh sebuah langkah yang salah arah.Langkah yang kurang terarah, yang melawan kepasrahan.Laku itu tidak lagi sebagai cahaya bagi penenteram jiwa.Tetapi lebih kepada pemaksaan subyektifitas diri yang serba egois.

'' Suicide Bombing '', adalah jalan yang melawan diri sendiri.Jiwa yang seharusnya merdeka, telah terjajah oleh egoisme.Dengan dalih kebenaran, dari mereka yang menganggap kemuliaan tentang jalan itu.Mereka tidak lagi menuju kepada cahaya kemuliaan tetapi telah menjerumuskan kesucian kedalam kegelapan.

'' Pluralisme '', tidak lagi dapat ditawar.Demi, membuka mata yang telah buta.Atau, membisiki telinga yang hampir menjadi tuli.Kebenaran itu tidak akan ditemukan dalam sudut yang serba sempit.Karena ia sebuah misteri yang membuat diri menjadi dewasa.Bukan diri dengan pemaksaan kehendak tanpa mau mengerti orang lain.

Bersembunyi Di Balik Pesan Suci

Keimanan merupakan realisasi kebutuhan setiap manusia akan religiusitas.Karena keimanan bersifat personal maka seringkali logika tidak mampu mengalahkan ketundukan hati dalam menerima kebenaran tanpa bukti konkrit maupun analisa ilmiah sebelumnya.

Dan, keimanan membutuhkan realisasi yang dapat diindera oleh setiap individu karena merupakan sebuah identitas.Yang seringkali ditunjukkan dengan simbol-simbol sebagai tanda bukti adanya eksistensi di dalam masyarakat.Simbol tersebut dapat berupa pakaian, tempat ibadah, sistem pemerintahan, sistem bisnis dan lain-lain.Kita dapat melihat hal ini dalam simbol agama.

Tetapi, ketika simbol religiusitas telah dibawa ke ranah politik, tidak jarang nasibnya sangat menyedihkan.Dalam partai politik misalnya, simbol agama dapat dijadikan sebagai alat untuk meraih suara sebanyak mungkin ketika berkampanye.Padahal banyak sekali para politisi yang telah menggunakan simbol agama, sama sekali tidak pernah merealisasikan janji mereka ketika sudah terpilih, baik menjadi Dewan maupun Kepala Daerah.

Lebih menyedihkan lagi ketika simbol agama dijadikan alat para koruptor untuk mengelabuhi publik demi memunculkan citra agamis.Sebagai contohnya, para pejabat yang mendirikan tempat ibadah, naik haji, memakai surban atau kegiatan religi yang lain tetapi menggunakan uang hasil korupsi.

Boleh jadi para nabi sangat berduka seandainya masih hidup di jaman yang serba tidak pasti ini.Pesan suci dari Yang Serba Maha, justru dijadikan tirai untuk menutupi kedhaliman dan kemunafikan.Kitab suci tidak lagi berisi ayat-ayat sakral karena keluar dari mulut yang tidak bertanggung jawab.

Suatu saat nanti, publik pasti mengerti permainan para politisi yang berkedok simbol agama demi eksistensi mereka.Atau, setidaknya Tuhan akan menurunkan karmaNya demi menunjukkan keadilan di muka bumi ini.Tidak mudah menjadi pemimpin amanah.Tidak cukup dengan kerudung, surban maupun gelar haji.Tetapi amanah akan punya nilai ketika dapat terealisasi secara konkrit dalam moralitas yang tinggi.

Kembali Ke Priok

                                                            (Foto: gatotyudiarto)


Dalam Tajuk Rencananya, Kamis (15/4/2010), Kompas menyindir, boleh jadi bentrokan antara Sapol PP dengan warga di Koja, sebagai isu untuk memecah konsentrasi publik pada kasus markus yang ramai dibicarakan di media.Jika hal itu benar, maka terlalu mahal harga yang harus dibayar.Bukan hanya harta benda tetapi juga nyawa.

Peristiwa di Koja sangat tidak berperi kemanusiaan, sebab memuncak pada semangat " nyawa harus dibayar dengan nyawa ''. Peristiwa mengerikan yang berlangsung beberapa jam tersebut, disiarkan langsung dua stasiun televisi, Metro TV dan TV One.Di mana, aparat Satpol PP dengan geram mngeroyok seorang pemuda yang tertangkap.Kemudian dianiaya dengan pukulan maupun tendangan sepatu lars tanpa belas kasihan.Seorang jurnalis berteriak histeris berusaha menghentikan penganiayaan tersebut.Ironisnya, korban masih anak-anak yang berumur belasan tahun.Darah mengucur dari luka tubuh pemuda yang sudah tidak berdaya itu.Beruntung,beberapa anggota polisi masih sempat mengamankan dan membawa ke mobil ambulance.

'' Darah telah tumpah, nyawa harus dibayar dengan nyawa'', begitu teriak warga Koja yang mengamankan makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang dikenal dengan nama Mbah Priok.Konon, dari nama itu pula pelabuhan di Jakarta Utara tersebut dinamakan Tanjung Priok.Selang beberapa jam, setelah aparat Satpol PP dan polisi selesai beristirahat, mereka melintasi gerbang makam menuju pelabuhan.Kontan, massa yang sudah emosi balas menyerang.Beberapa anggota Satpol PP yang tidak sempat menyelamatkan diri menjadi bulan-bulanan warga.Mereka memukuli aparat yang tertangkap menggunakan kayu, batu, besi atau apapun yang dapat dijadikan senjata.Lagi-lagi, darah mengucur, tapi kali ini dari sang aparat yang tertangkap warga.

Malam harinya, detik.com melaporkan, ada salah seorang anggota Satpol PP yang meninggal di terminal petikemas dan belum dievakuasi.Karena yang lain dievakuasi melalui jalur laut, guna menghindari bentrokan kembali.Beberapa media online yang lain menulis, bahwa belum ditemukan korban meninggal dunia malam itu.Seperti yang ditulis Kompas.com, di Rumah Sakit Koja tidak dotemukan korban meninggal dunia.

MetroTVnews.com menulis, peristiwa Koja pada (14/4) menunjukkan kegagalan Gubernur DKI dalam mendidik aparat Satpol PP, sehinnga masih bertindak arogan.Dan, selayaknya Gubernur bertanggung jawab atas tragedi ini.Tragedi yang mengharuskan warga dan aparat mengucurkan darah.

Keesokan harinya,setelah tragedi Koja, pers, khususnya televisi menayangkan penyesalan.Tayangan kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan korban.Anak, istri, saudara serta teman dekat hanya bisa bersedih atas peristiwa tersebut.Baik itu dari keluarga aparat maupun warga Koja.Sebagaimana diberitakan media, korban meninggal dunia akhirnya berjumlan tiga orang, semuanya dari aparat Satpol PP.Sementara luka-luka lebih dari seratus orang.

Wakil Gubernur DKI beserta para tokoh masyarakat dan agama mengadakan pertemuan, untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.Hadir pula perwakilan PT Pelindo yang nota bene berkepentingan atas tanah yang disengketakan.

                                             * * * *

Peristiwa di Tanjung Priok bukan kali ini saja.Pada tahun 1984 pernah terjadi pembantaian terhadap umat Islam oleh ABRI ketika itu.Di mana korbannya sekitar 400 orang meninggal dunia.Ditambah lagi yang luka-luka.Sebagaimana laporan Kontras.Meskipun hal ini dibantah oleh pemerintah, dengan mengatakan korban meninggal hanya belasan saja.Peristiwa itu dipicu faktor agama yang sangat sensitif bersinggungan dengan kekuasaan.

Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 adalah masa lalu, ketika Indonesia masih di tangan sang diktator.Dengan terpaksa kita memberikan toleransi atas arogansi pemerintah yang terjadi ketika itu.Sedangkan kini, reformasi sudah kita sepakati, dengan tujuan menegakkan demokrasi.Yang digulirkan pada Mei 1998 dan telah dibayar dengan darah pula oleh para mahasiswa.Apakah perjuangan menuju demokrasi ini akan kita isi dengan arogansi kembali.Kita hendaknya belajar dari sejarah.Kekerasan tidak akan efektif untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.Dialog dan jalur hukum lebih manusiawi daripada harus saling pukul.Apalagi dengan sesama bangsa sendiri.

Darah, apakah kata itu akan selalu mengiringi penyelesaian dalam persoalan sosial kemasyarakatan.Terkadang, darah yang mengalir justru berasal dari individu yang tidak terkait dengan peristiwa yang terjadi.Apalagi punya kepentinga mengambil keuntungan.Perjuangan melawan penjajahan juga harus dibayar dengan pertumpahan darah ketika berdirinya negeri ini.Tetapi tidak untuk melawan bangsa sendiri.

Sekali lagi, kekerasan hanya akan menyisakan penyesalan.Sudah waktunya kita kembali kepada hatinurani.Semua sudah lelah dengan pertikaian yang memalukan ini.

Terganjal Takdir Manusia


                                                                      (Foto:merdeka)

Cara membuktikan bahwa di Indonesia banyak pengangguran terdidik barangkali tidak perlu mengontrak LSI untuk melakukan survey.Kita bisa menghitung dari berapa perbandingan antara pendaftar CPNS dengan jumlah formasi yang dibutuhkan.Di Jatim dan DIY misalnya, pada formasi tenaga teknis, yang dibutuhkan rata-rata antara 2-4 orang tetapi yang mendaftar sampai seribuan lebih.Itu untuk sarjana S1saja, belum yang lain.

Bagi sebagian pelamar yang kebetulan belum diterima, boleh jadi menyalahkan pemerintah yang tidak mampu menampung ribuan lulusan sarjana.Tetapi sebenarnya kesalahan tidak mutlak dialamatkan kepada Pemerintah dengan beberapa pertimbangan.Kalau seluruh pelamar CPNS diterima, dari mana anggaran untuk menggaji mereka?Apakah bersedia menjadi PNS tetapi hanya kerja bakti?Para pelamar kan mencari gaji bukan pekerjaan.Kalau sebagian besar anggaran buat menggaji anak buahnya, berapa sisanya yang bisa dikorupsi?Apakah mereka masih mau menjadi pemimpin, seandainya tidak ada lagi yang bisa dikorupsi?Mungkin, pertimbangan seperti ini yang harus kita maklumi.

Pertanyaan juga kita tujukan kepada kampus-kampus yang telah meluluskan para sarjana.Apa tanggung jawab kampus sampai meluluskan ribuan siswanya-----yang dianggap mempunyai kredibilitas-----hanya dengan selembar kertas?Apakah setelah mereka lulus dan membayar semua biaya pendidikan, telah terputus tanggung jawab kampus?

Berkaitan dengan hal ini, Emha Ainun Najib, menyindir dalam tulisannya yang sudah lama, bahwa prestasi pembangunan bangsa ini antara lain adalah dengan menambah jumlah pengangguran, menugasi sarjana menjadi satpam, atau menyiksa ratusan ribu pencari kerja dengan menyuruh mereka membeli map dan kertas lamaran sebanyak-banyaknya (Harian Surya, Senin 28 Desember 1992).

Lebih jauh lagi, Cak Nun, panggilan akrab Emha, menyarankan supaya kita jangan membebani kampus-kampus, sekolah-sekolah, para dosen dengan kekecewaan-kekecewaan.Kalau ingin mencari ilmu, kearifan, kemuliaan sebaiknya kita mengandalkan, bagaimana cara kita setiap pagi memperlakukan matahari, dedaunan, pasar, atau impian-impian aneh setiap malam.Mintalah ilmu kepada pemilik-Nya pada setiap butiran udara yang beterbangan.

Meski begitu, menjadi apa kita kelak, tidak hanya ditentukan oleh takdir Tuhan.Tetapi ada tatanan sosial , atmosfer politik, struktur negara dan masyarakat yang ikut membentuk kita mau ke mana.Ironisnya, yang digemari masyarakat saat ini adalah atmosfer negatif.Mau menjadi apa kita, tergantung punya koneksi apa tidak, mampu membayar apa tidak.Isu-isu yang ketika Orde Baru berusaha diperangi para aktivis, kini bukan barang rahasia lagi.Kita tidak merasa aneh lagi melihat penyuapan di depan mata.Gayus tidak malu-malu lagi disebut koruptor, wajahnya tidak perlu ditutup dan masih bisa jalan-jalan ke Bali meskipun statusnya tahanan.Pendek kata, takdir Tuhan, kata Cak Nun, banyak diganjal oleh takdir manusia yang merasa punya kuasa atas negara ini.

Oleh karena itu, kita jangan hanya menggantungkan diri kepada manusia yang serba terbatas.Ketergantungan yang abadi hanyalah kepada Tuhan.Mau menjadi apapun kita, asalkan Tuhan yang memilihkan, hasilnya pasti lebih baik.

BERSEMBUNYI DI NEGERI SENDIRI


                                                                    (Foto:poskota)


Kita yang telah menerima kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 secara legal formal, namun faktanya sampai saat ini masih terjajah.Ketika rakyat Mesir berjuang untuk menegakkan demokrasi, kita di sini justru mengotorinya dengan sikap intoleransi antar agama.Penyerangan terhadap kelompok aliran apapun seharusnya dilarang oleh negara khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bukan waktunya lagi membatasi pemikiran dengan ancaman dan tindakan penyerangan.Pemikiran seharusnya dilawan dengan pemikiran.Pesan dalam UUD 1945 mengenai mencerdaskan kehidupan bangsa selayaknya dipahami sebagai perang pemikiran, bukan adu otot serta adu jotos.Bukankan kita bangsa yang beradab; bukan kalangan Barbarian?

Apakah kita akan tetap mengalami kondisi yang mencekam; hanya karena mempelajari ilmu ke-Tuhanan yang sedikit berbeda dengan umat mayoritas?Agama yang sejatinya dianut lebih karena warisan yang telah membudaya, sering dipahami secara dangkal dengan justifikasi hitam dan putih.Persoalan keyakinan boleh saja didasarkan pada keturunan semata, tetapi pencarian kebenaran adalah tindakan asasi manusia yang tidak dapat dihakimi oleh pihak lain.Persoalan keyakinan merupakan wilayah eskatologi yang tidak dapat dibuktikan secara kasat mata.Keyakinan hanya ada di dalam hati nurani dan masing-masing pasti berbeda dalam mengilustrasikannya.Sekalipun umat seagama atau sekeyakinan.Apa yang kita pikirkan tentang Tuhan, pasti berbeda dengan yang dipikirkan orang lain.Karena Tuhan erat sekali dengan kebenaran.Dan wilayah kebenaran sangat jauh dari sentuhan fisik semata.Sekalipun kita mampu mendefinisikan ke dalam kalimat, tetapi hati kita mempunyai gambaran yang sebagian tidak dapat diwakilkan.Oleh hanya sekedar bahasa formal manusia.

Sikap kritis mengenai keyakinan telah mengalami kemunduran; justru ketika demokrasi mulai ditegakkan di negeri ini.Situasi ini tidak jarang menimbulkan spekulasi pemikiran adanya mastermind (dalang) di balik setiap aksi penyerangan.Mulai dari pengalihan isu sampai adanya intelijen asing yang bermain.Dengan tujuan mendiskreditkan agama tertentu. Burhanudin Muhtadi menyebut kejadian kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi dengan istilah '' Revolusi Senyap ''.Sebuah istilah yang menggambarkan kekerasan yang meledak karena kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain.Yang menarik, kekerasan semacam ini justru tidak terjadi pada era Orde Baru.

Burhanudin Muhtadi mengatakan, ketika rezim Suharto berkuasa gerakan semacam ini mendapat tekanan serta tidak diberi kesempatan untuk berkembang.Setelah reformasi 1998 demokrasi tegak namun kewibawaan negara melorot.Ironisnya law enforcement ikut terpuruk.Dalam kajian sosiologi ada beberapa kelompok yang telah dibenci oleh masyarakat, yakni: Komunis, Yahudi dan Nasrani.Ketika ada persoalan dimasyarakat yang berhasil digiring kepada isu ketiga kelompok tadi maka kerusuhan mudah sekali diciptakan.Dengan tindakan main hakim sendiri.

Sedangkan Azzumardi Azra memandang kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh persoalan ideologis.Yaitu paham keagamaan yang tidak memberikan ruang perbedaan.Ditambah lagi para tokoh agama yang merestui kekerasan ini.Apalagi didukung oleh fakta bahwa pejabat publik yang memihak akan mendorong masyarakat melakukan kekerasan.Pemahaman keagamaan semacam ini oleh Azzumardi Azra di sebut sebagai sempit dan hanya memakai kacamata kuda.Setiap ada konflik sifatnya transnasional atau adanya pihak luar yang ikut bermain.

Ce’the’: Cara Unik Menikmati Kopi

                                                                   (Foto: unicidea)

Bagi orang Jawa Timur menikmati kopi tidak hanya meminumnya.Namun ada kebiasaan unik yaitu ce’the’ atau nye’the’.Salah satunya kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Tulungagung.Warung kopi yang terkenal yakni warung kopi Waris.

Ce’the’ merupakan kopi yang dioleskan pada sebatang rokok dengan motif seni.Bentuknya bisa batik atau gambar yang lain.Caranya adalah, kopi dituang di atas piring kecil, orang Jawa biasa menyebutnya lepek.Airnya diminum sampai habis.Sisa kopi yang masih tertinggal di lepek dikeringkan pakai kertas koran.Setelah dirasa cukup kekentalannya maka kopi siap digunakan untuk nyethe sebatang rokok.

Kopi yang digunakan untuk ce’the’ tidak asal kopi.Melainkan menggunakan resep tersendiri.Bahan yang ditambahkan ke kopi antara lain, kacang hijau, kelapa, susu dan lain-lain.Sebagian warung kopi di Tulungagung merahasiakan resep andalan mereka.Tekstur kopi yang digunakan juga harus halus agar mudah menempel pada rokok.

Bagi para penggemar kopi ini, nye’the’ merupakan proses pembuatan karya seni.Dengan media sebatang rokok dan tintanya bubuk kopi yang telah dihaluskan. Warung ce’the’ dapat ditemukan dengan mudah di Tulungagung dan sebagian wilayah Jawa Timur.Karena minum kopi menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah melekat.Konsumennya berasal dari berbagai kalangan.Dari tua, muda serta berbagai macam profesi.

Budaya ce’the’ atau nye’the’ juga dapat ditemukan di Kabupaten Pati Jawa Tengah.Beberapa tahun yang lalu warung kopi cethe banyak terdapat di sekitar alun-alun pati.Masyarakat Pati juga banyak yang menyukai rokok yang dilukis dengan kopi ini.

Dalam perkembangannya warung kopi cethe di Tulungagung sudah dikelola secara profesional.Untuk menarik konsumen para pelayan terdiri dari gadis-gadis yang masih muda dan cantik tentunya.Warung kopi juga menyediakan berbagai macam pilihan rasa kopi sesuai selera pembeli.Ada yang rasa susu, jahe, kacang ijo dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu tidak ada salahnya anda mencoba menikmati keasyikan minum kopi sambil nye’the’.  

DALAM LABIRIN

                                                                        foto:idrus

Labirin itu telah membuat keningku semakin berkerut.Apakah masih ada kelindan atau telah terurai.Meski dalam imanensi, aku masih berjarak.Diktum itu belum juga aku temukan.

Waktu yang tanpa batas tidak mampu melepasku dari kefanaan.Sementara ruang masih tertata dengan setiap entitas yang melingkupinya.

Aku terbelenggu bersama ilusi.Sampai saat ini, barangkali jiwaku belum terjaga.Dalam ontologi kehidupanku seakan menuju eskatologi.Yang tidak mampu aku pahami hanya dengan filosofi.

Sebuah ekstase yang harus aku urai.Dengan kesadaran dari dalam diri, meski semuanya terhalang oleh tabir.

Lagi-lagi Ada Pungli di Jalan Tol

(Spanduk yang dibentangkan di sebuah jembatan tol di Semarang: ''JALAN TOL INI TIDAK ADA PUNGLI.''/Foto: Suara Merdeka)


Entah berapa kali aku melewati jalan ini?Barangkali sudah ratusan kali.Semenjak terjun ke bisnis, kira-kira tujuh tahun yang lalu, Cirebon adalah kota yang sering aku singgahi.Di Cirebon aku belanja barang dan selanjutnya dipasarkan di Jogja dan sekitarnya.

Sebenarnya, menjadi pengusaha bukan merupakan cita-citaku sejak dulu.Pendidikan yang aku tempuh juga tidak ada kaitannya dengan dunia perdagangan.Aku lulusan sarjana Ilmu Hubungan Internasional, kalaupun ada mata kuliah mengenai ekonomi, sebatas yang masih berkaitan dengan politik.Mata kuliah ekonomi internasional misalnya, sama sekali tidak ada muatan bisnisnya.Atau dasar-dasar manajemen barangkali, yang agak menyentuh dunia para pengusaha tersebut.Tetapi kenyataannya sekarang aku menjadi pedagang he..he..

Kembali lagi ke jalan menuju Cirebon.Perjalanan ku dari Jogja ke Cirebon selalu ditemani oleh Kosim.Karyawan sekaligus teman yang sangat baik, bahkan sudah ku anggap seperti keluarga sendiri.Sebelum dengan Kosim, ketika berbelanja barang ke Cirebon, teman setiaku adalah Mahmud.Seorang guru dari Banyuwangi.Bernasib sama denganku.Dan akhirnya menjadi pedagang juga he..he..Namun sekarang, entah ke mana dia?Sudah lama aku tidak bertemu.

Dari Jogja, setelah sampai di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, atau titik akhir wilayah Brebes, perjalanan dapat ditempuh dengan dua jalur.Berbelok kiri, masuk tol Kanci dan keluar di pintu tol Plumbon, atau lurus melewati kota Cirebon.Dengan masuk tol, kita dikenakan tarif namun perjalanan lebih lancar dan cepat sampai.Apabila melewati kota, perjalanan sedikit terhambat dengan kondisi lalu-lintas yang padat.Terlebih lagi ketika jam-jam sibuk, yakni antara jam 06.00 sampai 08.00.Begitu juga sore hari, antara pukul 16.00 sampai 18.00, padatnya minta ampun.

Kami lebih sering masuk tol, supaya lebih cepat sampai di lokasi.Ketika berangkat, kondisi kendaraan yang kami bawa masih kosong, belum terisi barang.Pada situasi seperti ini masih aman.Tidak ada polisi jalan raya yang memberhentikan. Dari atas kendaraan, kami menyaksikan banyak truk maupun pick up yang berhenti di pinggir jalan.Di belakangnya sebuah sedan polisi lalu-lintas menunggu disertai beberapa petugas di dalamnya.” Ngemel iki, “ gumam Kosim, yang duduk di samping.Mel merupakan istilah yang biasa dipakai untuk menyebut uang tips yang diberikan para sopir kepada aparat di jalan raya.Bisa kepada polisi atau petugas yang lain.

Salah seorang penumpang truk berlari kecil menghampiri sedan di belakangnya sambil mengulurkan sesuatu.Tidak terlihat benda apa yang diberikan.Namun para sopir kerap kali bercerita bahwa mereka harus membayar sejumlah uang kepada aparat kepolisian guna menghindari surat tilang.

Ironisnya, tidak jauh dari lokasi tersebut, terpampang spanduk yang bertuliskan, “ jalan tol ini bebas dari pungli ”.Pungli singkatan dari “ pungutan liar “.Atau pungutan yang tidak resmi.

Dalam hati aku bertanya, “ apa artinya ini?”Apakah tulisan tersebut hanya formalitas belaka?Apakah pengelola jalan tol tidak tahu praktek pungli ini? Kejadian seperti ini kerap kami temui dalam perjalanan menuju Cirebon.Bahkan kami mengalami sendiri.Ketika pulang menuju Jogja, dengan kendaraan yang dipenuhi barang di bak belakang.Petugas patroli jalan raya kerap memberhentikan kami dan meminta uang.Jumlahnya tidak tentu.Terkadang cukup dengan “ salam tempel “ sebesar Rp 5.000 saja sudah cukup.Tetapi kadangkala meminta ratusan ribu rupiah.

Sejujurnya, pungutan liar atau pungli membebani para pengusaha.Pengeluaran harus bertambah akibat dari praktek ini.Yang menyedihkan, peraturan sudah ditaati tapi masih saja harus membayar pungli.Karena menganggap kendaraan angkutan barang selalu melanggar peraturan.

Sebagai contoh, barang yang kami bawa tertata rapi di belakang.Beratnya tidak melebihi batas, terbukti ketika masuk jembatan timbang, angka yang tertera di monitor menunjukkan batas normal.Rambu-rambu segitiga berwarna merah juga terpasang di belakang.Kami juga sudah melengkapi dengan surat jalan.Tetapi masih saja dikenakan pungutan yang tidak resmi.