Rabu, 19 Desember 2012

Seandainya Bos Media Jadi Presiden, Siapa Yang Akan Mengontrol?

                                                Gedung Graha Pena Jawa Pos (Foto: desainweb)

Dalam pidato di Silatnas partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengatakan bahwa, demokrat kuat di darat namun lemah di udara.Kata-kata politis tersebut merupakan simbol yang dapat dimaknai macam-macam.Dengan tidak bermaksud membela Anas, saya ingin menafsirkan, bahwa kata-kata tadi merupakan curhat dan sekaligus mewakili partai-partai lain yang tidak memiliki media, khususnya televisi.Atau, setidaknya ketua partainya bukan pemilik televisi di negeri ini.

Media, termasuk televisi, dikategorikan sebagai pilar keempat dalam demokrasi.Di mana perannya sangat vital karena mampu menggiring opini publik sesuai yang diinginkan.Kebenaran seakan menjadi subjektif ketika sudah masuk ke ranah televisi.Benar menurut media akan menjadi kebenaran yang diamini rakyat banyak.Hal ini terbentuk akibat opini yang sering diciptakan oleh perusahaan media.Seluruh masyarakat barangkali, tidak ada satupun dalam sehari yang bisa melepaskan diri dari menonton televisi.Maka, opini yang disampaikan melalui televisi sangat mudah mempengaruhi pikiran para pemirsa.Dan otomatis akan menjadi kebenaran.

Korporasi media tidak puas jika hanya memiliki satu perusahaan saja.Mereka membentuk grup, dengan kempemilikan tunggal.Meskipun hal ini telah direspon oleh AJI dengan mengajukan permohonan pengujian mengenai UU kepemilikan tunggal media dalam satu wilayah ke MK, tapi hasilnya belum jelas.Faktanya, kita setiap hari disuguhi televisi itu-itu saja.Sebut saja media grup, MNC grup, TV One bersama grupnya, Jawa Pos grup dan yang lainnya.

Di sisi lain kita memang terbantu juga oleh tayangan-tayangan yang ada di televisi.Selain sebagai hiburan, kinerja pemerintah tidak bisa lepas dari bahan pemberitaan televisi saat ini.Mulai dari kritik yang santun sampai yang terkesan emosional dan tendensius.Kita masih beruntung dapat diwakili televisi, apabila kita, sebagai individu mengkritik pemerintah secara langsung, padahal kita bukan siapa-siapa, bukan bos media, bukan pemilik koran, atau televisi, maka posisi kita sangat rawan.UU ITE (informasi dan transaksi elektronik) menghadang di depan mata.Sudah banyak kasus yang terjadi, Prita Mulyasari misalnya, kritikan yang dilontarkan justeru menjadi bumerang terhadap dirinya.

Namun, apabila kritikan disampaikan melalui pemberitaan di televisi, tentu pihak yang menuntut balik berfikir seribukali.Pengamat yang ilmunya kelewat pinter misalnya, suaranya hanya akan terpinggirkan di pojokan kalau tidak ada media yang mengundang atau memuat tulisannya.Itulah kekuatan dari pilar keempat demokrasi.

Selanjutnya, bila nantinya yang menduduki kursi presiden para pemilik media, siapa yang akan mengontrol mereka?Kita kan tahu, siapa saja yang akan berkompetisi di 2014 nanti.Mereka sebagian adalah para bosnya televisi.

Tidak menjadi masalah jika kinerja mereka memang sesuai dengan yang dinginkan rakyat.Atau sesuai dengan prosedur yang berlaku.Jikalau yang terjadi sebaliknya bagaimana?Apakah kita, sebagai rakyat kecil berani menyampaikan kritikan?Benarkah kita tidak akan di-Prita kan? Bukan hanya itu, sarana apa yang akan kita gunakan, sedangkan kita bukan bosnya televisi?Atau kita juga bukan rajanya koran?

Bos media mempunyai para prajurit yang siap bertempur.Yakni wartawan yang tidak bisa lepas dari aturan yang berlaku di korporasinya.Ketika sang juragan berkata ke selatan maka mereka juga akan ke selatan.Mana berani berjalan sendiri ke timur?

Meski begitu, mudah-mudaha kekhawatiran saya tidak akan terjadi.Kita berharap, media, termasuk para pemegang perusahaan mengerti betul kode etik jurnalistik.Bukan hanya itu, filosofi didirikannya media tidak akan mereka abaikan yakni sebagai pendukung kesejahteraan rakyat.Bukan sebaliknya, hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang karena semata-mata mempunyai modal besar di sana.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar