Minggu, 16 Desember 2012

Terganjal Takdir Manusia


                                                                      (Foto:merdeka)

Cara membuktikan bahwa di Indonesia banyak pengangguran terdidik barangkali tidak perlu mengontrak LSI untuk melakukan survey.Kita bisa menghitung dari berapa perbandingan antara pendaftar CPNS dengan jumlah formasi yang dibutuhkan.Di Jatim dan DIY misalnya, pada formasi tenaga teknis, yang dibutuhkan rata-rata antara 2-4 orang tetapi yang mendaftar sampai seribuan lebih.Itu untuk sarjana S1saja, belum yang lain.

Bagi sebagian pelamar yang kebetulan belum diterima, boleh jadi menyalahkan pemerintah yang tidak mampu menampung ribuan lulusan sarjana.Tetapi sebenarnya kesalahan tidak mutlak dialamatkan kepada Pemerintah dengan beberapa pertimbangan.Kalau seluruh pelamar CPNS diterima, dari mana anggaran untuk menggaji mereka?Apakah bersedia menjadi PNS tetapi hanya kerja bakti?Para pelamar kan mencari gaji bukan pekerjaan.Kalau sebagian besar anggaran buat menggaji anak buahnya, berapa sisanya yang bisa dikorupsi?Apakah mereka masih mau menjadi pemimpin, seandainya tidak ada lagi yang bisa dikorupsi?Mungkin, pertimbangan seperti ini yang harus kita maklumi.

Pertanyaan juga kita tujukan kepada kampus-kampus yang telah meluluskan para sarjana.Apa tanggung jawab kampus sampai meluluskan ribuan siswanya-----yang dianggap mempunyai kredibilitas-----hanya dengan selembar kertas?Apakah setelah mereka lulus dan membayar semua biaya pendidikan, telah terputus tanggung jawab kampus?

Berkaitan dengan hal ini, Emha Ainun Najib, menyindir dalam tulisannya yang sudah lama, bahwa prestasi pembangunan bangsa ini antara lain adalah dengan menambah jumlah pengangguran, menugasi sarjana menjadi satpam, atau menyiksa ratusan ribu pencari kerja dengan menyuruh mereka membeli map dan kertas lamaran sebanyak-banyaknya (Harian Surya, Senin 28 Desember 1992).

Lebih jauh lagi, Cak Nun, panggilan akrab Emha, menyarankan supaya kita jangan membebani kampus-kampus, sekolah-sekolah, para dosen dengan kekecewaan-kekecewaan.Kalau ingin mencari ilmu, kearifan, kemuliaan sebaiknya kita mengandalkan, bagaimana cara kita setiap pagi memperlakukan matahari, dedaunan, pasar, atau impian-impian aneh setiap malam.Mintalah ilmu kepada pemilik-Nya pada setiap butiran udara yang beterbangan.

Meski begitu, menjadi apa kita kelak, tidak hanya ditentukan oleh takdir Tuhan.Tetapi ada tatanan sosial , atmosfer politik, struktur negara dan masyarakat yang ikut membentuk kita mau ke mana.Ironisnya, yang digemari masyarakat saat ini adalah atmosfer negatif.Mau menjadi apa kita, tergantung punya koneksi apa tidak, mampu membayar apa tidak.Isu-isu yang ketika Orde Baru berusaha diperangi para aktivis, kini bukan barang rahasia lagi.Kita tidak merasa aneh lagi melihat penyuapan di depan mata.Gayus tidak malu-malu lagi disebut koruptor, wajahnya tidak perlu ditutup dan masih bisa jalan-jalan ke Bali meskipun statusnya tahanan.Pendek kata, takdir Tuhan, kata Cak Nun, banyak diganjal oleh takdir manusia yang merasa punya kuasa atas negara ini.

Oleh karena itu, kita jangan hanya menggantungkan diri kepada manusia yang serba terbatas.Ketergantungan yang abadi hanyalah kepada Tuhan.Mau menjadi apapun kita, asalkan Tuhan yang memilihkan, hasilnya pasti lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar