Jumat, 14 Desember 2012

Universitas Patangpuluhan

 [Gb:Emha Ainun Nadjib (lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 59 tahun) adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas Islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi./foto:ichwankalimasada]                            


Ketika itu Jumat malam, tepatnya tanggal 17 Desember 2010, hujan sepanjang siang tak henti-hentinya mengguyur Yogyakarta, termasuk kota Bantul.Kota yang terletak di sebelah selatan provinsi DIY itu mempunyai ciri tersendiri, khususnya pada tanggal 17, setiap bulannya.

Bertempat di pelataran sebuah TK dengan nama Alhamdulillah, terlihat ribuan orang berkumpul.Dari segala penjuru dan segala kalangan.Dari tukang becak, pengangguran, mahasiswa, seniman, tentara, pejabat, pengusaha dan masih banyak lagi.Para wanita, ada yang berjilbab atau tidak, yang laki-laki ada yang memakai peci, surban, berjenggot, tidak berjenggot, memakai celana di atas mata kaki atau tidak,sampai yang mengenakan jeans atau batik, dari yang pinter atau setengah pinter, dari yang gagal atau yang sukses.Usianya mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek, bertemu tanpa ada yang mengundang karena memang sudah terbiasa dengan acara seperti ini. Malam itu, terdengar sayup-sayup Shalawat kepada Nabi yang dilantunkan dengan merdu oleh budayawan Emha Ainun Najib yang akrab disapa Cak Nun.Dengan busana serba putih, ia bernyanyi diiringi alunan gamelan kontemporer Kiai Kanjeng.Hujan yang sejak siang mengguyur, malam itu sudah reda, meski tanah yang mereka pijak masih tampak basah namun tidak menyurutkan langkah para Jamaah Maiyah.

Malam itu berkumpul para alumni " Universitas Patangpuluhan ".Sebuah universitas yang tidak mempedulikan legalitas, apalagi formalitas maupun identitas.Kampus yang berdiri sekitar tahun 70 an tersebut direktori oleh Cak Nun yang ketika itu drop out dari Fakultas Ekonomi UGM.Nama Patangpuluhan diambil dari daerah yang di tempati." Kampusnya tidak memakai pintu, dari pagi sampai pagi lagi selalu terbuka.Tapi gak onok maling sing mlebu, lha wong jerone gak onok apa-apane ", kelakar Cak Nun dengan gaya Jombangan.Mahasiswa di kampus tersebut terdiri dari seniman, penulis, sastrawan, jurnalis, anak jalanan atau pengangguran.Mereka di sana berdiskusi berbagai persoalan yang menyangkut realitas sehari-hari sekaligus yang mereka alami.Dan, kampus ini pula yang melahirkan para alumni seperti Cak Nun serta yang lain.

Para alumni Universitas Patangpuluhan berbagi pengalaman ke para jamaah Maiyah.Mulai dari bagaimana mencari identitas dengan kondisi yang rata-rata drop out kuliah.Mereka mengatakan, dengan tanpa bekal ijasah formal ketika itu, mereka harus menjadi orang sakti supaya dapat bertahan hidup.Bagi mereka, terlibat langsung dengan masyarakat dengan berbagai latar belakang lebih bernilai daripada hanya berteori di belakang meja.Mereka terlibat langsung dengan realitas sosial di negara ini.Bagaimana rasanya hidup susah, terjepit, kadang makan kadang puasa, adalah realitas yang mereka rasakan.

Tetapi dari kampus inilah Maiyah terbentuk, yang sekarang sudah tersebar ke mana-mana dengan nama yang berbeda-beda, bahkan sampai ke luar negeri.Jamaahnyapun sekarang ribuan orang.Melalui media ini Cak Nun dan kawan-kawan serta Kiai Kanjeng merombak cara berpikir masyarakat mengenai pemahaman agama, politik, budaya, hukum dan lain sebagainya.Terkadang melakukan hal-hal yang kontroversial, seperti, dalam pengajian tersebut sering dinyanyikan lagu-lagu Gereja maupun nyanyian orang Yahudi.Tetapi itulah pluralitas yang dikemas sedemikian rupa sehingga tetap menyegarkan hati dan pikiran.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar